Istimewanya Sang Ramadhan
Istimewanya Sang RamadhanOleh : Edi Hermawan
(Ketua PC IPNU Lampung Tengah)
TIDAK terasa, waktu berjalan begitu cepat. Saat ini kita telah berada di bulan suci Ramadhan, yang penuh dengan kebajikan dan keberkahan.
Bagi masyarakat muslim, bulan ini sangat istimewa dan dinantikan kehadirannya, sebagaimana petunjuk Rasulullah SAW: “Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya‘ban hingga sampaikan kami ke bulan Ramadhan.”
Maka tidak heran, ketika Ramadhan tiba, iklan dan spanduk bergentayangan di mana-mana, bahkan tidak sedikit juga pesan singkat berbunyi: Marhaban Ya Syahru Ramadhan.
Kata marhaban diambil dari kata Rahb yang berarti “luas atau lapang”, sehingga menggambarkan bahwa tamu yang datang disambut dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan, serta dipersiapkan baginya ruangan yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya.
Dengan demikian, yang bersangkutan akan melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan balasan dari Allah SWT. Tidak pernah berpikir materialis dan jauh dari kekhawatiran yang akan menimpa dirinya seperti barang dagangannya akan sepi dari pembeli, atau karena harus menutup toko untuk menghargai orang yang sedang berpuasa, atau khawatir kesehatannya akan menurun sekiranya menunaikan puasa, karena dia meyakini bahwa Allah SWT tidak pernah menyia-nyiakan hamba-Nya yang saleh dan akan memberikannya rezeki dengan cara minhaistu la yahtasib.
Sedangkan arti Ramadhan adalah “membakar” atau “mengasah”. Karena pada bulan ini dosa-dosa manusia pupus, habis terbakar, akibat kesadaran dan amal shalehnya. Atau disebut demikian karena bulan tersebut dijadikan sebagai waktu untuk mengasah dan mengasuh jiwa manusia.
Ramadhan diibaratkan sebagai tanah subur yang siap ditaburi benih-benih kebajikan yang pada waktunya menuai hasil sesuai dengan benih yang ditanamnya. Maka bagi yang lalai, tanah garapannya hanya akan ditumbuhi rerumputan yang tidak berguna.
Pada bulan suci Ramadhan, orang Islam diwajibkan berpuasa sebagaimana firman Allah dalam Alquran: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu (umat terdahulu), agar kamu memperoleh predikat takwa.” (QS. al-Baqarah: 183).
Dalam ayat di atas disebutkan “diwajibkan atas kamu berpuasa” untuk mengisyaratkan bahwa puasa tidak harus merupakan kewajiban yang dibebankan oleh Allah, tetapi manusia sendiri mewajibkannya atas dirinya pada saat menyadari betapa banyak manfaat di balik puasa itu.
Pada hakikatnya, puasa telah dikenal oleh umat manusia sejak lama, namun pada abad ke-20 ini sebagian melakukannya dengan berbagai motif dan dorongan. Antara lain dengan tujuan memelihara kesehatan atau merampingkan tubuh, atau dalam bentuk mogok makan sebagai pertanda protes atas perlakuan pihak lain, atau dilakukan sebagai tanda solidaritas atas malapetaka yang menimpa teman atau saudara, seperti yang terdapat di sementara suku-suku di India dan lainnya yang hingga kini masih berlaku
Sedangkan puasa yang dilakukan umat Islam digarisbawahi oleh Alquran bertujuan untuk memperoleh taqwa. Hal ini dapat tercapai dengan menghayati arti puasa itu sendiri, yaitu bukan hanya sekadar menahan diri dari haus dan lapar. Tetapi menjaga seluruh anggota tubuh dari hal-hal yang dilarang oleh Allah, serta memperbanyak amal ibadah agar dapat memperoleh predikat takwa.
Menyambut Ramadhan mengandung nilai kebajikan yang sungguh luar biasa, sebagaimana diungkapkan dalam hadis Nabi SAW: “Sekiranya umatku mengetahui rahasia yang terkandung pada bulan suci Ramadhan, maka niscaya mereka berharap agar sepanjang tahun dijadikan bulan suci Ramadhan.” Karena akan diampuni segala dosa-dosanya dan diberikan pahala yang berlipat. Jangankan berpuasa di bulan suci tersebut, orang yang menyambutnya saja dengan penuh hati gembira dan dada yang lapang akan dimasukkan ke dalam surga-Nya.
Maksud bergembira di sini adalah sangat bersyukur atas anugerah dan karunia Allah karena masih dipertemukannya dengan Ramadhan, sehingga memiliki kesempatan dan waktu untuk memohon ampun dan bertaubat kepada Allah atas segala dosanya.
Karena betapa banyak kawan dan kerabat kita yang pada bulan Ramadhan sebelumnya makan sahur dan berbuka puasa bersama dengan kita, tetapi Ramadhan kali ini absen, karena telah lebih dulu menghadap Sang Khalik.
Jadi, mari kita persiapkan diri untuk menyambut kehadiran bulan yang penuh berkah ini dengan jiwa yang suci sambil memperbanyak puasa sunnat di bulan Sya‘ban sebagai ajang untuk melatih diri, sehingga di bulan puasa nanti kita telah siap secara fisik dan mental.
Kemudian, mendiskusikannya dengan sanak keluarga guna membuat program untuk membekali diri seperti memperbanyak shalat sunnat, bertadarus, mengkhatamkan Alquran, berupaya memahami dan mendalami kandungan Alquran, bermunajat, dan bertaubat memohon ampun atas segala dosa-dosa. Tidak lupa membersihkan rumah serta pekarangannya, kemudian mempersiapkan kebutuhan lain untuk beribadah seperti sajadah, mukena, Alquran, bekal untuk beri‘tikaf, dan lain-lain sehingga nyaman dalam beribadah.
Dengan demikian, cara menyambut kehadiran bulan suci Ramadhan adalah dengan penuh rasa syukur, kemudian berazam dalam hati bahwa bahwa dia benar-benar akan menghiasinya dengan amal shaleh dan berlomba-lomba dalam beribadah.
Bukan beramai-ramai pergi ke pantai, air terjun, tempat rekreasi lainnya dengan berkumpul bersama non mahramnya, bukan juga mempersiapkan diri dengan cara mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya untuk mempersiapkan keperluan lebaran seperti pakaian baru, perabot baru, aneka kue, minuman yang berwarna warni dan lain sebagainya.
Sebagian orang jauh-jauh hari sudah sibuk memikirkan model baju, jilbab, mukena, yang akan dipakai ketika hari raya nanti, sajian apa yang dipersiapkan untuk para tamu, bagaimana bentuk gorden, gelas yang ideal, cat warna apa yang menarik buat pagar rumah, jalan-jalan kemana dan sebagainya, padahal Ramdhan belum hadir satu haripun di hadapannya. Kalau demikian, berarti sungguh kita telah menyia-nyiakan kehadiran ramdhan tersebut. Ini berarti kita termasuk orang yang merugi, padahal tamu agung tersebut berada di tengah-tengah kita hanya sementara.
Perlu disadari bahwa Ramadhan bulan pengekangan terhadap hawa nafsu. Dengan demikian, seharusnya kebutuhan, belanja dan pengeluaran kita lebih hemat dan lebih irit dari bulan yang lain sehingga merasakan kesulitan dan penderitaan orang lemah sehingga muncul sikap sosial, dan toleransi untuk membantu dan mengurangi beban mereka, namun kenyataannya kebutuhan orang di Bulan Ramadhan jauh lebih tinggi dan meningkat dari bulan yang lain, maka masih layakkah dia disebut sebagai shaim yang benar-benar mengekang hawa nafsunya.
Ramadhan hanya sekali dalam setahun. Maka jangan pernah menjadikannya hanya sebatas rutinitas dan sekadar untuk menahan lapar dan dahaga, tetapi tempalah jasmani dan rohani guna menjadikan hidup bermanfaat. Dengan menunaikan amanah penuh tanggung jawab, menahan diri dari mencerca dan berkata-kata yang mubazir, jangan mudah memfitnah dan menyebarkan isu negatif, tahanlah nafsu dari keserakahan, tamak, rakus, sombong, iri hati, emosi dan berbagai sifat atau nafsu angkara murka.
Rasulullah saw telah mengingatkan “Sekian banyak orang-orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh hasil apapun dari puasanya kecuali hanya lapar dan dahaga”. Wallahu a’lam bi al-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar